Senin, 01 September 2008

Alutsista

Darwin - Latihan “Kakadu” IX Angkatan Bersenjata Australia bersama delapan negara lain yang melibatkan sekitar 2.000 personel mulai Senin (28/7) memasuki tahap mengasah kemampuan kepelautan, setelah mereka menyelesaikan tahap latihan pangkalan dari 21 hingga 27 Juli.

Kepala Departemen Operasi KRI Hasanuddin-366 Satkor Koarmatim TNI AL, Mayor Laut (P) Salim, dalam penjelasannya di Darwin, Jumat malam, mengatakan kegiatan kemampuan kepelautan ini merupakan tahap tiga dari tujuh tahap latihan yang melibatkan belasan kapal perang dan kapal selam Australia, Malaysia, Singapura, Selandia Baru, Papua New Guinea, Pakistan, Jepang dan Thailand.

Kakadu 2008Salim bersama Mayor Laut (P) Ridwan Prawira, S.T. (perwira TNI AL di Koarmabar) menjadi perwira peninjau dalam latihan yang berlangsung 19 hari itu.

Selain Indonesia, negara-negara yang hanya mengirim perwira peninjaunya adalah India dan Filipina.

“Tahap tiga ini berlangsung hingga 31 Juli dan dilanjutkan dengan latihan kekuatan gabungan dari satu hingga empat Agustus, latihan pertempuran laut dengan `tactical freeplay` selama kurang lebih 48 jam pada tanggal lima sampai tujuh Agustus,” katanya.

Kakadu 2008Latihan bersama di kawasan latihan militer Darwin di Australia Utara itu dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan pertahanan AL Australia (RAN) bersama kekuatan angkatan laut internasional dalam latihan keamanan laut dan perkembangannya serta menguji kesiapsiagaan unsur RAN yang terlibat.

Selama pelaksanaan Kakadu IX/2008 RAN menunjukkan kapal perang barunya HMAS Sirius dengan Anzac Class Frigate HMAS Toowomba, Adelaide Class Frigate HMAS Merlbourne, dan kapal selam Collinn Class HMAS Collins, Armydable Class Patrol Boat HMAS Maryborough dan HMAS Maitland serta dua kapal ranjau HMA Ship Diamantina dan Gascoyne. Kekuatan pertahanan Australia lainnya adalah Air Force Hornet dan Fighter Hawk dan dua AP-3C Orion, kata Salim.

Kakadu 2008Selain untuk menjaga kemampuan pertempuran laut dan meningkatkan peran serta dan kerja sama dengan kekuatan kawasan maupun dalam operasi koalisi, Latihan Kakadu IX/2008 itu juga dimaksudkan untuk menjaga kemampuan pengetahuan kelautan sesuai dengan prosedur dan keselamatan, meningkatkan kemampuan individu dan gabungan, serta memberi kontribusi di bidang pertahanan dan keamanan laut, katanya.

Selama latihan, Jepang mengerahkan kapal perangnya JDS Samidare dan helikopter “Seahawk”, Malaysia (KD Jebat), Perancis (Flotilla 25F), Selandia Baru (5SQN, 1 x P-3K), Pakistan (PNS Babur (DD), heli Allouette, PNS Nasr (AO) dan heli Seaking), PNG (kapal perang HMPNGS Rabaul (PB) dan HMPNGS Dreger (PB), Singapura (RSS Vigour (MCV), RSS Vengeance (MCV) dan 121 SQN (1 x F50 enforcer) serta Thailand HTMS Sukothai (FSGM) dan 102 SQN (1 x P-3T), katanya.

Kakadu 2008Setelah latihan tempur selesai, para peserta akan mengkaji ulang rangkaian pelatihan yang baru dilakukan sebelum diadakan acara penutupan pada 8 Agustus mendatang. Pada 9 Agustus para peserta latihan meninggalkan pelabuhan Darwin.

Pada Latihan Kakadu sebelumnya, Indonesia sempat mengirim sebuah kapal perangnya.(Sumber)

Berita terkait :
AL Singapura Latihan Militer Bersama dengan Sembilan Negara

Diterbitkan di: on Juli 28, 2008 at 7:35 am Komentar (0)

Australia Ujicoba Pesawat Mata-mata Tak Berawak Buatan Israel

UAV AustraliaSydney (ANTARA News) - Austalia kini sedang mengujicoba pesawat mata-mata tak berawak bagi keperluan patroli perbatasan guna menghadapi berbagai ancaman di laut, termasuk perahu berisi imigran gelap, pemerintah menyatakan Jumat.

Komando Perlindungan Perbatasan telah meluncurkan ujicoba enam pekan atas pesawat-pesawat tersebut dari sebuah pangkalan di Weipa, Australia timur laut, untuk menilai teknologi itu bagi keperluan pengintaian maritim sipil, kata Mendagri Bob Debus.

Heron UAV“Wahana udara tak berawak (UAV) terbang tanpa suara, hampir-hampir tak dapat dideteksi dan mampu melakukan pengamatan atas wilayah sasaran atau kapal selama beberapa jam,” ujar Debus dalam pernyataannya.

Pesawat ini telah terbang dengan sukses di atas Teluk Carpentaria, Selat Torrest antara Australia dan Paua Nugini dan Great Barrier Reef dalam percobaannya.

Heron UAV“Seluruh kawasan itu merupakan wilayah yang berada di bawah pengawasan Komando Perlindungan Perbatasan dalam upaya mencegah penangkapan ikan secara ilegal dari pihak asing, mengawasi karantina dan ancaman perbatasan serta mendeteksi berbagai kegiatan terlarang di kawasan laut yang dilindungi,” katanya.

Heron UAVPengintaian atas para imigran gelap yang berusaha mendarat di pantai Australia dengan perahu akan menjadi bagian tugas pesawat pengintai itu, jika pesawat itu sudah beroperasi secara penuh, kata seorang jurubicara Debus kepada AFP.

UAV yang tengah diujicoba itu adalah Heron yang dioperasikan Israel Aerospace Industries. Pesawat ini memiliki rentang sayap 16,6 meter, panjang 8,5 meter dan jangkauan terbang sampai 1.800 km.(Sumber)

Diterbitkan di: on Mei 24, 2008 at 5:48 am Komentar (1)

Perahu Dibakar Patroli AL Australia, Nelayan Kupang Kesulitan

Kapal Patrol AL AustraliaKupang (ANTARA News) - Para nelayan asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) sejak pertengahan April hingga kini kesulitan mencari ikan, karena perahu-perahu mereka telah disita dan dibakar oleh patroli Angkatan Laut Australia ketika sedang mencari ikan di wilayah “seabed line” atau garis bentang perairan laut antara Indonesia-Australia.

“Kami sekarang kesulitan untuk mencari ikan karena perahu-perahu kami yang dibawa untuk mencari ikan di wilayah perairan Laut Timor dirampas kemudian disita dan dibakar oleh patroli Angkatan Laut Australia dalam suatu operasi pada bulan April lalu,” kata Haji Mustafa, salah seorang nelayan asal Kelurahan Oesapa Kupang kepada ANTARA di Kupang, Senin.

Nada penyesalan yang sama disampaikan pula oleh sejumlah nelayan lainnya seperti Haji Guntur Dala, Haji Metu, Haji Akealidin dan Haji Mukhtiare Ali yang bermukim di sebuah perkampungan nelayan asal Bugis, Sulawesi Selatan di Kelurahan Oesapa itu.

“Sudah sekitar sembilan perahu kami disita kemudian dibakar oleh patroli Angkatan Laut Australia ketika sedang mencari ikan di wilayah perairan Laut Timor,” ujar Haji Metu yang mengaku pernah ditangkap Australia pada 2002.

Sementara Konsul RI di Darwin, Australia Utara, Harbangan Napitupulu mengatakan, sejak 24-26 April 2008, tercatat sedikitnya 14 perahu dan kapal nelayan Indonesia yang ditangkap otoritas Australia dengan jumlah awak kapal dan nahkoda sekitar 264 orang.

“Saat ini mereka mendekam di pusat penahanan di Darwin,” katanya seperti dilaporkan ANTARA Canberra, Minggu (1/5).

Ia menambahkan, saat ini ada kecenderungan kapal-kapal nelayan Indonesia ditangkap di wilayah “seabed line” Australia, tetapi nelayan-nelayan Indonesia umumnya masih berada di dalam wilayah perairan Indonesia.

“Sepertinya ada ketidaktahuan nelayan-nelayan kita mengenai kejelasan batas mana mereka boleh menangkap ikan padahal nelayan-nelayan kita itu sudah puluhan tahun melaut dan dulu tidak ada masalah. Kenapa sekarang jadi masalah,” katanya.

Pemerintah dan AL Indonesia diminta bela nelayan sendiri

Haji Mustafa mengatakan, perahu-perahu mereka dilengkapi dengan perangkat “Global Positioning System (GPS)” serta peta Indonesia yang dikeluarkan Angkatan Laut RI untuk menghindari keteledoran memasuki wilayah perairan Australia.

“Perahu-perahu kita masih dalam wilayah perairan Indonesia, tetapi GPS itu tidak diakui oleh otoritas Australia dan menggiring para nelayan kita masuk ke wilayah perairan negeri Kanguru,” katanya dengan mengutip seorang saudaranya yang sedang didekam di pusat penahanan Darwin.

Setelah perahu-perahu digiring masuk ke wilayah perairan negara itu, tambahnya, para awak kapal dialihkan semuanya ke kapal patroli Australia dan perahu-perahu tersebut ditembak dan terbakar semuanya di tengah laut.

“Saya pernah mengalami sendiri hal itu ketika ditangkap oleh patroli Angkatan Laut Australia pada 2002 bersama puluhan nelayan Indonesia lainnya,” ujar Haji Metu.

Haji Guntur Dala menambahkan, saat ini pihaknya mengalami kesulitan besar untuk mencari ikan karena armada perahu mereka yang menjadi “jantung kehidupan keluarga” dibakar oleh otoritas Australia ketika sedang mencari ikan di wilayah perairan Indonesia.

“Ini fakta yang kami alami, tetapi kami tidak pernah mendapat pembelaan dari pemerintah Indonesia. Negara sepertinya tidak memiliki kepedulian terhadap nasib nelayannya sendiri,” tambah Haji Mustafa.(Sumber)

Diterbitkan di: on Mei 5, 2008 at 10:01 am Komentar (0)

Australia Berambisi Miliki Jet Tempur Siluman F-22 Raptor

F-22

Brisbane (ANTARA News) - Setelah memutuskan untuk tetap membeli 24 unit jet tempur canggih F/A-18F Super Hornet dari Amerika Serikat 17 Maret lalu, Australia ternyata juga berambisi untuk bisa membeli pesawat tempur super canggih F-22 Raptor.Keinginan kuat Australia untuk bisa membeli F-22 Raptor yang hingga kini belum diizinkan Pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk dijual ke pasar alat utama sistem senjata (alutsista) dunia itu diberitakan media Australia, Minggu.

F-35Menteri Pertahanan Joel Fitzgibbon seperti dikutip ABC mengatakan ia tertarik untuk menjadikan F-22 Raptor sebagai opsi (pilihan) yang baik untuk mengantisipasi keterlambatan penerimaan pesawat segala matra F-35 Joint Strike Fighter (JSF).

“Saya jauh lebih tertarik untuk melirik F-22 terlebih lagi ketika tidak satu pun dari kita saat ini tahu kapan F-35 akan diserahkan apakah tahun 2015 atau 2020?” katanya.

Ambisi Australia untuk bisa memiliki jet tempur “F-22 Raptor” yang berteknologi siluman (stealth) itu sebelumnya juga pernah terungkap ke ranah publik, saat Menhan Joel Fitzgibbon bertemu Menhan AS Dr. Robert Gates dalam forum konsultatif para menteri pertahanan dan luar negeri kedua negara (AUSMIN) di Canberra, 23 Februari lalu.

Dalam pertemuan yang juga diikuti Wakil Menlu John Negroponte mewakili Condoleezza Rice yang berhalangan hadir dan Menlu Australia Stephen Smith itu, Pemerintah Australia tidak hanya mempertimbangkan partisipasinya dalam program sistem pertahanan rudal AS, tetapi juga mendorong negara adidaya itu untuk mengizinkan penjualan jet tempur generasi baru “F-22 Raptor”.

F-22Menhan Joel Fitzgibbon ketika itu mengatakan, Menhan Robert Gates sudah berjanji untuk melobi Kongres AS atas nama Australia guna mengamankan penjualan jet tempur super canggih itu kepada Australia.

Sejauh ini, Pemerintah AS tidak menjual F-22 Raptor kepada negara manapun namun ABC mengatakan, sejumlah pakar pertahanan Australia yakin bahwa kemungkinan AS mau menjual versi modifikasi F-22 Raptor.

Dalam forum konsultatif AUSMIN di Canberra 23 Februari lalu, Menhan AS Robert Gates telah menegaskan bahwa pihaknya tidak punya keberatan yang prinsipil terhadap keinginan Australia itu.

Namun ia mengatakan, undang-undang Kongres Amerika melarang penjualan pesawat tempur tercanggih AS yang disebut situs “Air Power Australia” dapat dilengkapi bom pintar inersial/satelit GBU-32 JDAM itu ke negara asing, termasuk Australia.

Hasrat besar Menhan Fitzgibbon terhadap pesawat tempur F-22 Raptor ini tidak terlepas dari pertimbangan kemampuan hebat pesawat yang kini dipakai Skuadron Tempur ke-27 Sayap Tempur Pertama Langley, Virginia, AS itu sehingga pas dengan isu peninjauan kembali kemampuan tempur udara Australia oleh kementeriannya.

Pada mulanya, keinginan Menhan Fitzgibbon memasukkan F-22 Raptor ke dalam proses peninjauan kembali itu dimaksudkan sebagai satu opsi jika ada keputusan soal pembatalan kontrak pembelian pesawat tempur F/A-18F Super Hornet yang telah ditandatangani pemerintahan PM John Howard dengan AS.

F/A-18F Super HornetNamun masalah masa depan kontrak pembelian 24 unit F/A-18F Super Hornet itu sudah jelas setelah ada keputusan Menhan Joel Fitzgibbon mengenai hal ini pada 17 Maret lalu.

Dalam pernyataan pers yang dikeluarkan Kementerian Pertahanan Australia hari itu, ia memberi dua alasan utama di balik keputusannya mempertahankan kontrak pembelian Super Hornet tersebut, yakni menghindari konsekuensi beban finansial atas pembatalan kontrak serta kemampuan Super Hornet yang dianggap tetap mampu meladeni ancaman apapun di kawasan Asia Pasifik.

Keputusan mempertahankan kontrak pengadaan F/A-18F itu diambil Menhan Fitzgibbon bertalian dengan hasil evaluasi tim yang dibentuknya untuk meninjau kembali kemampuan pertahanan udara Australia.

Diterbitkan di: on Maret 24, 2008 at 5:28 am Komentar (0)

Australia Tetap Putuskan Beli F/A-18F Super Hornet dari AS

F/A-18F Super Hornet

tontaipursurvival2Brisbane (ANTARA News) - Menteri Pertahanan Australia, Joel Fitzgibbon, akhirnya tetap memilih melanjutkan kontrak pengadaan sedikitnya 24 pesawat tempur canggih F/A -18 F Super Hornet, yang telah ditandatangani pemerintah Australia semasa pemerintahan John Howard dengan Amerika Serikat (AS).Keputusan itu disampaikannya dalam pernyataan pers yang dikeluarkan Kementerian Pertahanan Australia, Senin.

“Membatalkan (kontrak pembelian) Super Hornet akan membawa konsekuensi hukuman finansial yang besar dan menciptakan ketegangan dengan para mitra kontraktor,” kata Fitzgibbon.

Ia menimpali bahwa kemampuan Super Hornet pun dianggap mampu meladeni ancaman apapun di kawasan Asia Pasifik.

F/A-18F Super Hornet_2Keputusan mempertahankan kontrak pengadaan F/A-18 F itu diambil Menhan Fitzgibbon bertalian dengan hasil evaluasi tim yang dibentuknya untuk meninjau kembali kemampuan pertahanan udara Australia.

Sebelum ada keputusan ini, ia sempat memasukkan pesawat tempur canggih F-22 Raptor ke dalam proses peninjauan kembali itu sebagai opsi jika ada keputusan soal pembatalan kontrak pembelian Super Hornet senilai lebih dari lima miliar dolar AS yang telah ditandatangani pemerintahan PM John Howard dengan AS.

Adanya keinginan memasukkan F-22 Raptor memicu spekulasi tentang pembatalan kontrak pembelian F/A-18F. Konsekuensi ongkos pembatalan yang harus ditanggung pemerintah federal Australia pun bergulir menjadi wacana politik.

F/A-18F Super Hornet_3Pada 18 Februari lalu, Menhan Joel Fitzgibbon mengumumkan struktur dan rincian peninjaun kembali pemerintahan Partai Buruh yang kini berkuasa atas kepatutan rencana kemampuan tempur udara Australia hingga 2045.

Peninjauan kembali itu dimaksudkan untuk membantu pemerintah menilai rencana yang ada sekarang dan menyampaikan pertimbangan tentang kemampuan tempur udara Australia berdasarkan Buku Putih Pertahanan yang baru.

Menurut Menhan Fitzgibbon, peninjauan kembali itu dilakukan dalam dua tahap.

Pada tahap pertama, dilakukan penilaian terhadap persyaratan kemampuan tempur udara Australia antara tahun 2010 dan 2015, dan kelayakan mempertahankan pesawat tempur F-111 hingga setelah 2010.

Seterusnya dilakukan pula analisa perbandingan pesawat tempur yang ada untuk mengisi ketimpangan yang terjadi akibat penarikan F-111, serta penilaian terhadap status rencana mendapatkan F/A-18 Super Hornet.

Pada tahap kedua, peninjauan kembali itu akan mempertimbangkan tren kekuatan udara di kawasan Asia Pasifik hingga tahun 2045, dan kemampuan relatif pesawat tempur generasi sekarang maupun generasi ke-empat dan kelima seperti “Joint-Strike Fighter”.

Dalam peninjauan kembali tahap dua itu, tim peninjau juga akan mengkaji F-22 dengan tetap mempertimbangkan masalah industri yang relevan dengan perkembangan kemampuan tempur udara Australia.

Di masa pemerintahan PM Howard, isu pengadaan Super Hornet yang terlanjur disepakati dengan AS itu tidak dapat dilepaskan dari ambisi Angkatan Bersenjata Australia (ADF) mengisi ketimpangan saat pesawat-pesawat F-111 dan “Joint Strike Fighter” dipensiunkan pada 2014.

Sangat baik

F/A-18F Super Hornet_1

Bagi Kepala Staf Angkatan Udara Australia, Marsekal Angus Houston, kemampuan tempur Super Hornet “sangat baik” dan sejauh ini tidak ada bandingannya yang lebih baik di kawasan Asia Pasifik.Di kawasan Asia, analis pertahanan sering membandingkan kemampuan tempur Super Hornet itu dengan pesawat tempur canggih “Sukhoi” buatan Rusia yang sudah memperkuat angkatan udara China, India, Malaysia dan Indonesia.

Kembali ke masalah kontrak pembelian Super Hornet yang pada akhirnya dipertahankan Menhan Fitzgibbon.

Seandainya dia membatalkan kontrak pembelian yang sudah disepakati pemerintahan PM Howard dengan AS, Pejabat senior Dephan Australia, Stephen Gumley mengatakan, pemerintah federal harus siap mengeluarkan 400 juta dolar.

Dana pembatalan sebesar itu, katanya, harus disiapkan sesuai dengan nilai kontrak yang sejauh ini ada.

Biaya itu akan terus membengkak karena semakin lama Australia terlibat dalam program pengadaan itu, semakin banyak pula “Super Hornets” yang dibuat.

Kontrak pembelian Super Hornet yang belakangan memunculkan pertimbangan lain dari pemerintahan Perdana Menteri Kevin Rudd dengan melirik F-22 Raptor ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk merumahkan pesawat tempur F-111 pada 2010.

Isu penarikan F-111 pada 2010 untuk digantikan dengan pesawat tempur yang dinilai lebih canggih dan mampu menjaga supremasi tempur udara Australia itu semakin bergulir kencang sejak 3 Mei 2007.

Saat itu, ADF menyebutkan pihaknya telah melakukan kontrak pertama akuisisi 24 unit F/A -18 F Super Hornet dan sistem pendukungnya senilai 2,9 miliar dolar dengan Angkatan Laut AS.

Berbagai masalah lainnya, termasuk akuisisi senjata, bahkan direncanakan selesai pada 2007, sedangkan pelatihan bagi para personel militer Australia di AS dimulai pada 2009 atau setahun sebelum penarikan F-111.

Dephan Australia di masa PM Howard masih berkuasa sangat yakin bahwa kehadiran F/A-18 F Super Hornet itu akan mampu mempertahankan kemampuan tempur udara Australia melalui transisi ke pesawat tempur F-35 pada dekade berikutnya.

Pesawat tempur buatan Boeing dan pertama kali terbang pada 29 November 1995 ini dinilai berkemampuan tinggi, terbukti dalam operasi tempur, dan memiliki multiperan.

Angkatan laut AS menfungsikan jenis Super Hornet yang memiliki seri E dan F ini hingga tahun 2030.

Sebanyak 24 pesawat Super Hornet Australia itu pada awal rencananya akan ditempatkan di Pangkalan Udara Angkatan Udara Australia (RAAF) di Amberley, Negara Bagian Queensland. (Sumber)

Berita Terkait :
Australia akan Membeli 24 Jet Tempur F/A-18 Super Hornet dari Boeing Corporation di AS

Diterbitkan di: on Maret 18, 2008 at 4:52 am Komentar (0)

Ambisi Militer Australia di Kawasan Asia-Pasifik

Ambisi Militer Australia di Kawasan Asia-PasifikBrisbane (ANTARA News) - Australia yang merupakan kekuatan menengah di dunia, namun dalam soal supremasi militer sedang memupuk ambisi besar mempertahankan dominasinya di kawasan Asia Pasifik.

Ambisi itu kian terlihat 23 Februari lalu saat para menteri pertahanan dan luar negeri Australia dan AS bertemu dalam forum konsultatif yang dikenal dengan AUSMIN (Australia-US Ministerial) di Canberra.

Dalam pertemuan yang diikuti Menhan AS Robert Gates, Wakil Menlu AS, Menlu Australia Stephen Smith dan Menhan Joel Fitzgibbon terungkap sejumlah ambisi strategis Canberra.

Selain mereka hadir pula Kepala Staf Gabungan AS, Laksamana Mike Mullen, dan Komandan Armada Pasifik AS, Laksamana Timothy Keating.

Media setempat melaporkan Australia tidak hanya mempertimbangkan partisipasinya dalam program sistem pertahanan rudal AS, tetapi juga mendorong negara adidaya itu untuk mengizinkan penjualan pesawat tempur generasi baru “F-22 Raptor”.

Kedua isu strategis itu mendapat sinyal positif dari delegasi AS.

Fitzgibbon, seperti dikutip ABC, mengatakan memanfaatkan pertemuan itu untuk menyinggung perihal hambatan di seputar pembelian pesawat siluman F-22 Raptor.

Gates menegaskan bahwa pihaknya punya keberatan prinsipil, namun undang-undang kongres AS melarang penjualan pesawat tempur tercanggih AS itu.

F-22 Reptor US


Spesivikasi F-22 Reptor

F-22 Raptor disebut situs Air Power Australia dapat dilengkapi bom pintar inersial/satelit GBU-32 JDAM (The Joint Direct Attack Munition) itu ke negara asing, termasuk Australia.

Jenis pesawat tempur itu merupakan pesawat penyerang dengan bom berpenuntun laser yang berfungsi serba guna.

Melihat kendala legal formal itu, Fitzgibbon berjanji menulis surat ke Pemerintah dan Kongres AS untuk meminta undang-undang pelarangan penjualan ke negara asing itu diubah.

Hasrat besar Fitzgibbon terhadap pesawat tempur F-22 Raptor ini tidak terlepas dari pertimbangan kemampuan hebat pesawat yang kini dipakai Skuadron Tempur ke-27 Wing Tempur Pertama Langley, Virginia, AS itu sehingga pas dengan isu peninjauan kembali kemampuan tempur udara Australia oleh kementeriannya.

Keinginan memasukkan F-22 Raptor ke dalam proses peninjauan kembali itu dimaksudkan sebagai satu opsi jika ada keputusan soal pembatalan kontrak pembelian pesawat tempur F/A-18F Super Hornet senilai lebih dari lima miliar dolar AS yang telah ditandatangani AS dengan John Howard ketika masih menjabat Perdana Menteri Australia beberapa waktu lalu.

Isu pembatalan kontrak pembelian F/A-18F dan konsekuensi ongkos pembatalan yang harus ditanggung pemerintah federal Australia itu menjadi wacana politik setelah pada 18 Februari lalu Fitzgibbon mengumumkan struktur dan rincian peninjaun kembali pemerintahan Partai Buruh yang kini berkuasa atas kepatutan rencana kemampuan tempur udara Australia hingga 2045.

Peninjauan kembali itu akan membantu pemerintah menilai rencana yang ada sekarang dan menyampaikan pertimbangan tentang kemampuan tempur udara Australia berdasarkan Buku Putih Pertahanan yang baru.

Menurut Fitzgibbon, peninjauan kembali itu akan dilakukan dalam dua tahap.

Pada tahap pertama, dilakukan penilaian terhadap persyaratan kemampuan tempur udara Australia antara tahun 2010 dan 2015, dan kelayakan mempertahankan pesawat tempur F-111 hingga setelah 2010.

Seterusnya dilakukan pula analisa perbandingan pesawat tempur yang ada untuk mengisi ketimpangan yang terjadi akibat penarikan F-111, serta penilaian terhadap status rencana mendapatkan F/A-18 Super Hornet.

Pada tahap kedua, peninjauan kembali itu akan mempertimbangkan tren kekuatan udara di kawasan Asia Pasifik hingga tahun 2045, dan kemampuan relatif pesawat tempur generasi sekarang maupun generasi ke-empat dan kelima seperti pesawat untuk segala matra Joint-Strike Fighter (JSF).

Dalam peninjauan kembali tahan dua itu, menurut Fitzgibbon, tim peninjau juga akan mengkaji F-22 dengan tetap mempertimbangkan masalah industri yang relevan dengan perkembangan kemampuan tempur udara Australia.

Ketika masa pemerintahan Howard, isu pengadaan Super Hornet yang terlanjur disepakati dengan AS itu tidak dapat dilepaskan dari ambisi Angkatan Bersenjata Australia (ADF) mengisi ketimpangan saat pesawat-pesawat F-111 dipensiunkan pada 2014.

Bagi Kepala Staf Angkatan Udara Australia, Marsekal Angus Houston, kemampuan tempur Super Hornet sangat baik, tak tertandingi di kawasan Asia Pasifik.

Di kawasan Asia, analis pertahanan sering membandingkan kemampuan tempur Super Hornet itu dengan pesawat tempur canggih “Sukhoi” buatan Rusia yang sudah memperkuat angkatan udara China, India, Malaysia dan Indonesia.

Bila pembatalan kontrak pembelian Super Hornet benar-benar dilakukan, menurut Pejabat senior Dephan Australia, Stephen Gumley, pemerintah federal harus siap mengeluarkan 400 juta dolar.

Dana pembatalan sebesar itu, katanya, harus disiapkan sesuai dengan nilai kontrak yang sejauh ini ada. Biaya itu akan terus membengkak karena semakin lama Australia terlibat dalam program pengadaan itu, semakin banyak pula “Super Hornets” yang dibuat.

Kontrak pembelian Super Hornet yang belakangan memunculkan pertimbangan lain dari pemerintahan Perdana Menteri Kevin Rudd dengan melirik F-22 Raptor ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk merumahkan pesawat tempur F-111 pada 2010.

Isu penarikan F-111 pada 2010 untuk digantikan dengan pesawat tempur yang dinilai lebih canggih dan mampu menjaga supremasi tempur udara Australia itu semakin bergulir kencang sejak 3 Mei 2007.

Saat itu, ADF menyebutkan, pihaknya telah melakukan kontrak pertama akuisisi 24 unit F/A-18 F Super Hornet dan sistem pendukungnya senilai 2,9 miliar dolar dengan Angkatan Laut AS.

Berbagai masalah lainnya, termasuk akuisisi senjata, bahkan direncanakan selesai pada 2007, sedangkan pelatihan bagi para personel militer Australia di AS dimulai pada 2009 atau setahun sebelum penarikan F-111.

Dephan Australia di masa Howard sangat yakin kehadiran F/A-18 F Super Hornet itu akan mampu mempertahankan kemampuan tempur udara negara itu melalui transisi ke pesawat tempur siluman F-35 pada dekade berikutnya.

Pesawat tempur buatan Boeing dan pertama kali terbang pada 29 November 1995 ini dinilai berkemampuan tinggi, terbukti dalam operasi tempur, dan memiliki multi peran.

Angkatan Laut AS menfungsikan jenis Super Hornet yang memiliki seri E dan F ini hingga tahun 2030.

Sebanyak 24 pesawat Super Hornet Australia itu pada awal rencananya akan ditempatkan di Pangkalan Udara Angkatan Udara Australia (RAAF) di Amberley, Negara Bagian Queensland.

Juga di lauit

Terlepas dari bagaimana akhir dari kisah “F-22 Raptor” dan “Super Hornet” di antara Canberra dan Washington DC ini, satu hal yang pasti bahwa Australia sangat berambisi menjaga supremasi kemampuan tempur udaranya di kawasan Asia Pasifik.

Terjaganya supremasi tempur udara itu diikuti pula oleh hasrat Australia yang besar dalam memperkuat kapasitas tempur lautnya dengan mengembangkan armada kapal selam baru yang mampu membawa peluru kendali jarak jauh serta kapal selam kecil yang canggih.

Ambisi memperkuat kemampuan matra laut Angkatan Bersenjata Australia (ADF) itu tampaknya dimaksudkan untuk mengantisipasi perlombaan senjata di kawasan Asia Pasifik.

Sebelum isu “F-22 Raptor” bergulir, Fitzgibbon sudah memerintahkan pembuatan rencana pengembangan generasi baru kapal selam AL Australia itu untuk menggantikan armada kapal selam kelas “Collins” pada 2025.

Proyek pengembangan armada kapal selam baru dengan biaya 25 miliar dolar yang perlu waktu 17 tahun itu disebut Suratkabar “The Australian” sebagai proyek pertahanan terbesar, terlama, dan termahal di negara itu.

Rencana Australia di bawah pemerintahan Partai Buruh memperbaharui armada kapal selamnya itu muncul di saat negara-negara di kawasan Asia Pasifik, seperti Indonesia, China, dan India, juga mulai mengembangkan kekuatan armada kapal selamnya.

Kondisi ini berpotensi mengubah keseimbangan kekuatan pertahanan angkatan laut di kawasan tersebut.

Fitzgibbon berpandangan bahwa kapal selam dapat memberikan kemampuan militer yang vital bagi Australia.

Sejauh ini, Australia memiliki sedikitnya enam kelompok kapal selam, yakni HMAS Collins, HMAS Dechaineux, HMAS Farncomb, HMAS Rankin, HMAS Sheean, dan HMAS Waller.

Ambisi besar untuk mempercanggih alat utama sistem senjata (alutsista) ADF itu sepenuhnya merupakan hak Australia, namun sulit untuk dipungkiri bahwa Indonesia kerap dijadikan salah satu “benchmark” pertahanan Australia di kawasan.

Asumsi ini beralasan ketika media Australia menyoroti secara khusus kesepakatan kerja sama Indonesia dan Rusia dalam pengadaan alutsista TNI yang pemberitaannya marak di sela KTT Forum Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Sydney, September 2007 lalu.

Harian “The Sydney Morning Herald” termasuk di antara media cetak yang paling menyoroti kesepakatan Indonesia-Rusia, khususnya tentang pengadaan sejumlah kapal selam, tank, dan helikopter senilai 1,2 miliar dolar AS itu.

Suratkabar milik kelompok Fairfax itu bahkan menuding pembelian sejumlah alutsista TNI dari Rusia ini akan memicu perlombaan senjata di kawasan tersebut.

Menlu RI, Nur Hassan Wirajuda, menanggapi laporan media Australia di sela KTT APEC Sydney tahun lalu itu, dengan satu penegasan bahwa Indonesia memiliki dasar keperluan yang kuat untuk membangun angkatan bersenjata yang layak.

Apa yang disepakati Indonesia dengan Rusia dalam pengadaan alutsista TNI itu juga hanya dimaksudkan untuk mengejar tingkat kemampuan yang memadai bagi sebuah negara kepulauan.

Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia mempunyai dasar keperluan yang legal untuk membangun angkatan bersenjata yang layak.

Namun berdasarkan ukuran anggaran belanja pertahanan selama 30 tahun terakhir, Indonesia justru tergolong negara dengan anggaran yang “sangat rendah”, katanya.

“Akibatnya pembangunan angkatan bersenjata kita relatif ketinggalan. Apa yang kita sepakati dengan Rusia, daya belanja kita baru untuk mengejar tingkat kemampuan yang memadai bagi sebuah negara seperti Indonesia,” kata Menlu RI.

Apa yang disampaikan Wirajuda tentang minimnya anggaran pertahanan RI itu adalah sebuah kenyataan yang menyertai perjalanan sejarah TNI hingga saat ini.

Pertanyaan Menhan Juwono Sudarsono Januari lalu semakin menegaskan kondisi yang memprihatinkan itu, padahal ia menyebut angka Rp100 triliun atau sekitar 11 miliar dolar sebagai besar dana yang ideal bagi Dephan dan Mabes TNI untuk mendukung kebutuhan negara seluas Indonesia.

Dibandingkan dengan Singapura, yang menurut Menhan Juwono, sudah menghabiskan dana pertahanan sebesar 44 miliar dolar AS, Indonesia dipastikan bukan siapa-siapa karena anggaran pertahanannya hanya sekitar Rp3,6 triliun tahun ini.

Dengan kondisi demikian, siapa yang sesungguhnya berambisi besar memicu perlombaan senjata di kawasan Asia Pasifik?

Agaknya tak sulit untuk melihat Australia sebagai salah satu negara yang terus memupuk ambisi besar untuk menjadi negara kekuatan menengah yang memiliki supremasi militer yang hebat di kawasan Asia Pasifik. (Sumber)

Diterbitkan di: on Februari 26, 2008 at 2:53 am Komentar (0)

Ada Jejak Kotor Australia di Timor Leste

Mayor alfredoGreg Sheridan, editor meja sunting internasional The Australian, Kamis (14/2), menulis analisis peran seharusnya Australia di Timor Leste. Bagian paling sensasional dari tulisannya adalah rekomendasi Dewan Keamanan Nasional Australia (NSC) untuk membunuh Mayor Alfredo Reinado pada Februari 2007.

Pada 4 Maret 2007, sebulan setelah NSC rapat menentukan nasib Alfredo, pasukan khusus Australia –Special Air Service (SAS)–dengan beberapa helikopter Black Hawk menyisir sebuah hutan dimana Alfredo bermarkas, tetapi meski berhasil membunuh empat pemberontak, si Mayor dan sebagian besar anak buahnya berhasil melarikan diri.

Greg menggarisbawahi kegagalan itu sebagai buah dari sikap percaya diri berlebihan tentara Australia yang menganggap remeh Alfredo. Sikap ini sebenarnya adalah refleksi dari sikap umum Australia terhadap Timor Leste dalam segala hal.

Mengenai sikap angkuh dan suka main gertak dari Australia ini sudah menjadi cerita sehari-hari warga Timor Leste, bahkan anak Ramos Horta –Loro Horta– yang sedang studi program doktor di Universitas Nanyang, Singapura, menyindir arogansi tentara Australia dalam satu tulisan berjudul “Aussies outstay their East Timor welcome” (”Australia tinggal lebih lama dari yang diizinkan Timor Leste”).(Selengkapnya….)

Diterbitkan di: on Februari 18, 2008 at 4:04 am Komentar (0)

Australia Tambah Pasukan ke Timor Leste

CANBERRA–MI: Australia akan memenuhi permintaan Timor Leste agar menambah tentara dan polisi ke negara tersebut menyusul serangan kelompok gerilyawan yang melukai Presiden Jose Ramos Horta. Demikian dikatakan Perdana Menteri Australia, Kevin Rudd, Senin (11/2).

“Permintaan dari Timor Leste itu merupakan hal penting. Penambahan pasukan Australia di Timor Leste yang kini berjumlah sekitar 800 orang untuk tugas perdamaian, akan signifikan,” ungkap Rudd.

Kemungkina, Australia akan mengirimkan sekitar 100-150 tentara dan 70 polisi.

“Serangan terkoordinasi untuk membunuh pemimpin yang terpilih secara demokratis di Timor Leste yang merupakan sahabat Australia merupakan sebuah perkembangan yang sangat menyedihkan,” imbuhnya.

Ia menegaskan, Australia akan mendukung penuh pemerintah Timor Leste yang terpilih melalui pemilihan umum. “Karena itu, Australia akan memenuhi permintaan Timor Leste soal penambahan tentara dan polisi,” tegas Rudd.

Rudd menambahkan, pasukan Australia yang memimpin PBB di Timor Leste, telah berhasil menguasai gedung-gedung penting dan telah menyebar ke berbagai lokasi di ibukota, Dili. “Keamanan di Dili kini telah stabil. Namun semuanya bisa cepat berubah,” kata Rudd. (AFP/OL-06/Media Indonesia)

Diterbitkan di: on Februari 11, 2008 at 10:38 am Komentar (0)

Tidak ada komentar: